OPINI – Dalam sistem demokrasi diciptakan one man one vote untuk menjamin hak setiap warga negara dalam pengambilan keputusan jabatan presiden, gubernur, bupati, dan wakil rakyat. Hak itu termasuk hak pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Untuk mendapatkan anggota parlemen atau pejabat publik yang berintegritas diharamkan riswah atau politik uang.
Para pejabat yang dipilih ini nantinya digaji dari peluh atau pajak rakyat. Begitulah sistem yang semestinya. Namun, berlaku atau tidaknya sistem itu kembali kepada masyarakat sebagai pemilik hak suara.
Kaitannya dengan judul tulisan ini akan penulis awali dengan sesuatu yang penulis sebut Mandailing value, yakni si gut-gut ni raja. Secara terminologi, diperoleh dari beberapa tokoh di Mandailing, orang Mandailing memiliki sifat arogan. Merasa paling hebat, paling kaya, paling benar, dan selalu menganggap dirinya benar. Bahkan dalam keadaan nyata salah pun masih mencari dalih dan dalil untuk menguatkan pendapatnya.
Dari penjelasan itu, penulis menarik kesimpulan si gut-gut ni raja merupakan sifat mementingkan diri sendiri tanpa mempertimbangkan keberadaan atau pendapat orang lain. Tidak ada pula pertimbangan-pertimbangan untuk masa depan. Hematnya, yang penting hari ini untuk. Besok, ya, lihat besok saja. Sifat ini pula yang penulis lihat pada para pejabat di kabupaten ini, baik eksekutif maupun legislatif.
Momen Pemilu; baik pileg maupun Pilkada, menurut hemat penulis, merupakan momen paling tepat untuk melihat korelasi sifat gut-gut ni raja dengan praktek politik uang. Keduanya menjadi perpaduan yang serasi dalam merusak tataran kehidupan masyarakat. Penilaian ini berdasarkan pada pengalaman dan fakta yang ditemukan dalam beberapa kesempatan.
Pada momen Pemilu, para tim sukses punya pasar tersendiri di warung-warung kopi berupa pengangguran, penderes yang karetnya kehujanan, petani yang hasil panennya rendah, dan sejenisnya. Sekilas para tim sukses ini menggambarkan keuntungan menerima uang untuk memilih orang tertentu. Seolah-olah itu adalah masa yang tepat untuk menikmati ‘kebijakan’ para calon sebelum mereka dilantik.
Iming-iming itu ternyata manjur. Seketika kajian di masjid dan nasehat para ustaz terlupakan. Idealisme pun tergadai. Jadi, semua yang hari ini kita terima adalah konsekuensi dari pengambilan keputusan yang keliru dalam mendudukkan pejabat publik, baik kepala daerah maupun legislator. Ketidakadilan dan penindasan adalah konsekuensi ketidakpedulian dan keserakahan.
Di ujung tulisan ini penulis ingin menyampaikan satu bahan berpikir untuk setiap pembaca. Mandailing Natal memiliki laut dengan kekayaan luar biasa. Beragam hasil laut tersedia. Gunung dan perbukitan menyimpan emas, perak, perunggu, dan migas. Di sisi lain, para ulama banyak lahir di tanah kabupaten ini. Santri menjamur dan pesantren tumbuh subur. Namun, masyarakatnya jauh dari kata sejahtera.
Apakah ketidaksejahteraan ini merupakan pertanda bahwa kekayaan alam yang kita miliki tidak diberkahi Tuhan? Maka dari itu, dengan begitu dekatnya momen Pilkada, mari bertanya pada hati, apakah kabupaten yang kaya ini akan kembali kita gadaikan untuk sekelompok orang atau untuk kesejahteraan bersama? Jangan sampai pemimpin Madina ke depan adalah orang yang mewarisi sifat siĀ gut-gut ni raja. (*)
Penulis Sofian Suheri Lubis
Mahasiswa UIN Suska Riau Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum