Hari ini, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) tepat berusia 26 tahun. Perjalanan panjang pembangunan daerah ini penuh dinamika diiringi keberhasilan dan kegagalan. Di luar penjabat, sudah ada empat rezim bupati yang memimpin. Dimulai dari rezim Amru Daulay, Hidayat Batubara, Dahlan Hasan Nasution, dan HM Jafar Sukhairi Nasution. Dalam waktu yang tidak lama lagi, pucuk pimpinan akan dipegang Saipullah Nasution.
Harapan demi harapan terus tumbuh di dalam hati masyarakat. Sejak kabupaten ini resmi berdiri, harapan itu terus dipupuk. Apa yang tidak dapat dicapai pada satu rezim, menjadi impian di rezim berikutnya. Pergantian pemimpin sama halnya dengan hari jadi, penuh harapan. Itu pula yang sering kita tonton dalam adegan perayaan ulang tahun di film-filim. Make a wish, kata orang barat sebelum meniup lilin. Panjatkan doa dan harapan, kira-kira begitu makna kontekstualnya.
Ulang tahun bukan sebatas menyiram harapan yang telah layu. Ia juga menjadi sarana evaluasi. Tak heran peringatan hari jadi, terlebih ulang tahun daerah atau bangsa, selalu dimulai dengan refleksi. Melihat satu per satu target yang tidak tercapai. Beragam tulisan akan muncul berkaitan dengan kegagalan demi kegagalan pemerintah. Impian-impian yang dibangun pada masa awal kepemimpinan satu rezim akan diurai satu per satu. Bahkan tak jarang bermuara pada kesimpulan: Pemerintah tidak pernah hadir bagi masyarakat.
Para pendiri satu bangsa atau daerah tentu bercita-cita menciptakan masyarakat yang sejahtera. Seperti pendiri kabupaten ini yang menyematkan kata Madani di awal pembentukannya. Dalam KBBI kata ‘Madani’ diartikan menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Lalu, sudahkah itu tercapai sepenuhnya? Benarkah pemerintah tak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat? Apakah peran serta masyarakat sudah sepenuhnya benar sebagaimana aturan bernegara?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa digeneralisasi untuk menyimpulkan satu jawaban. Sepanjang kabupaten ini berdiri, setiap rezim memiliki catatan pembangunan tersendiri. Keberhasilan itu patut dipandang sebagai sebuah harapan bahwa kita sedang berada di jalan yang tepat menuju impian dan cita-cita pendiri kabupaten ini.
Sekolah-sekolah, termasuk sekolah tinggi, terus berdiri untuk mendorong lahirnya generasi yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas. Infrastruktur masih diperhatikan. Dari rezim pertama sampai pemerintahan terkini, sehasta demi sehasta pengasapalan jakan terus berlanjut. Daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi mulai tercapai. Kesehatan tetap menjadi prioritas. Bahkan terkini, masyarakat dimanjakan dengan program UHC yang memberikan keleluasaan mengakses layanan kesehatan yang baik secara cuma-cuma.
Pembangunan suatu bangsa atau daerah tak boleh disandarkan sepenuhnya pada pemerintah yang ketika tak tercapai dicap sebagai sebuah kegagalan. Soe Hok Gie pada satu masa pernah menyampaikan satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh setiap orang yang mengaku berpendidikan, who am I? Siapa aku. Pertanyaan ini fundamental karena mengevaluasi eksistensi kita sebagai bagian dari sebuah negara.
Apakah para mahasiswa telah bertindak sebagai seorang intelektual? Apakah para akademisi sudah menjalankan fungsinya sebagai orang terdidik? Apakah para jurnalis telah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kontrol sosial? Apakah anggota legislatif telah berfungsi dengan baik? Atau kita semua hanya berupaya mengambil keuntungan pribadi dari situasi yang berjalan?
Evaluasi komprehensif pada hari jadi Kabupaten Mandailing Natal tak adil jika sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah semata. Sebab, kita semua adalah bagian dari daerah ini dan punya tanggung jawab masing-masing untuk memajukannya. Hari jadi bukanlah program pemerintah, ia adalah keniscayaan yang akan terus kita rayakan setiap 9 Maret.
Selamat HUT ke-26 Kabupaten Mandailing Natal. Bersatu, Maju, dan Sejahtera. Seperti temanya, kita harus bersatu untuk maju bersama-sama mencapai kesejahteraan. (*)