Menyelisik Pemberian Nilai SKTT Peserta PPPK di Madina

Panyabungan (HayuaraNet) – Satu per satu kejanggalan seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) mulai terungkap, salah satunya adalah pemberian nilai tambahan SKTT (Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan) yang jomplang. Ternyata, 10 soal standar yang harus diberikan penguji kepada peserta memiliki kriteria yang sulit diterima akal kalau ada guru honorer yang mendapat nilai minimal.

Sekadar informasi, Kemendikbudristek mengeluarkan 10 soal pokok standar untuk menguji peserta melalui pewagai yang diajukan pemerintah daerah ke Panselnas (Panitia Seleksi Nasional). Kedua penguji yang ditunjuk terdiri masing-masing satu orang dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Dinas Pendidikan.

Nah, berdasarkan Kepmendikbudristek Nomor 298 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan bagi PPPK Guru Tahun 2023 kesepuluh soal pokok standar itu adalah Kematangan Moral dan Spritual, Kematangan Emosional, Keteladanan, Komunikasi, Keaktifan dalam Organisasi Profesi, Kedisiplinan, Tanggung Jawab, Prilaku Inklusif, Kepedulian terhadap Perundungan, dan Kerja Sama dan Kolaborasi. Setiap pokok soal punya bobot nilai sama, terendah satu poin dan tertinggi sembilan poin.

Melihat poin-poin itu, patut rasanya dijadikan penilaian tambahan karena memang sudah merupakan gambaran umum seorang guru. Namun, melihat nilai tambahan yang diberikan kepada mereka yang tidak lulus seleksi akan membuat hati miris. Pasalnya, ada guru yang hanya mendapat tambahan 15 poin. Selain telah mengangkangi kepmen tersebut, nilai ini pun tidak pantas.

Baik, mari diselisik satu per satu poin-poin penilaian itu. Pertama Kematangan Moral dan Spritual, secara logika tidak masuk akal seorang guru hanya mendapat nilai satu untuk konteks tersebut. Bagaimana mungkin seseorang yang diwajibkan memberikan pendidikan moral dan spritual sementara moralnya sendiri hanya dapat nilai satu? Semestinya seorang guru minimal dapat penilaian tujuh. Lalu, kalau seperti ini yang moralnya nilai minimal itu penguji atau guru?

Kedua, Kematangan Emosional. Sampai hari ini belum terdengar peserta PPPK yang melakukan tindak kekerasan kepada murid yang kemudian menimbulkan polemik. Menjadi sesuatu yang janggal dengan banyaknya peserta yang mendapat penilaian satu untuk poin dimaksud. Penilaian berikutnya, Keteladanan. Bukankah seorang guru itu adalah sumber keteladanan. Lalu, kalau nilai mereka hanya satu, bagaimana bisa murid-murid meneladan mereka?

Keempat, Komunikasi. Seorang guru harus cakap berkomunikasi karena dia diwajibkan mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Kalau nilai komunikasi seorang guru di bawah lima, rasanya tak mungkin seorang kepala sekolah akan mempertahankan guru tersebut. Selanjutnya, Keaktifan dalam Organisasi Profesi. Meskipun bisa disangkal, rasanya hanya ini salah satu penilaian yang memungkinkan guru dapat nilai minimal, mengingat peserta PPPK itu bukan bagian dari pengurus PGRI.

Keenam, Kedisiplinan. Boleh jadi ada beberapa guru yang layak menerima nilai kecil, tetapi tak mungkin juga banyak yang menerima perlakuan demikian. Kedisiplinan merupakan salah satu kunci dalam menjalankan program pengembangan dan pemajuan pendidikan. Setidaknya, nilai paling minimal yang patut diberikan adalah lima atau empat. Ketujuh, Tanggung Jawab. Rasanya hanya orang dengan pemikiran kerdil yang tega memberikan nilai satu untuk tanggung jawab seorang guru, terlebih penilaian itu hanya diambil dari deskripsi singkat.

Kedelapan, Prilaku Inklusif. Boleh jadi masih ada guru yang memperlakukan murid dengan memilah dan memilih berdasarkan ekonomi, status sosial, atau kedekatan keluarga, tetapi prilaku seperti ini tidak bisa dibuat general. Terlebih, belakangan sudah banyak terdengar guru-guru yang memberikan perlakuan sama rata kepada siswa.

Kesembilan, Kepedulian terhadap Perundungan. Sepanjang tahun ini, bahkan jika ditarik dalam tiga tahun terakhir, belum pernah terdengar ada perundungan di sekolah yang ada di Madina ini dengan guru-gurunya tidak memihak korban. Terakhir, Kolaborasi. Kalau tidak ada kolaborasi yang baik antara honorer dengan ASN sudah pasti pendidikan di satu sekolah tidak akan berjalan dengan maksimal.

Kisah guru honorer diperlakukan seperti pembantu guru ASN sudah lumrah. Bukankah memberikan bantuan kepada rekan kerja merupakan kolaborasi? Guru mana yang paling lelah ketika ada acara perayaan di sekolah, honorer atau ASN? Tentu, yang memiliki pengamatan baik akan dapat memberikan jawaban.

Sesuai pengakuan Kaban BKPSDM Madina Abdul Hamid Nasution, penguji peserta PPPK tahun ini adalah dirinya dengan Kadisdik Dollar Hafriyanto. Tentu, kepada keduanya perlu dimintai pertanggungjawaban penilaian. Di samping itu perlu juga keduanya hadir menjelaskan bagaimana mereka melihat para peserta PPPK itu adalah orang-orang yang cacat moral, tidak matang secara emosi, dan buruk dalam komunikasi.

Melihat komposisi standar pokok penilaian, semestinya tidak satu orang pun layak mendapatkan nilai di bawah 32 poin. Hitungan sederhana, seroang guru adalah teladan, memiliki moral dan spritual yang baik, dan bisa berkomunikasi. Dengan asumsi itu mereka pantas setidaknya mendapat poin minimal enam.

Apabila dihitung dengan baik berarti, 3×6=18. Lalu, ada tujuh poin lain. Jika ketujuhnya diberikan nilai minimal, itu pun sesuatu yang tak masuk akal, maka ada tambahan setidaknya 14 poin. Maka, pemberian nilai terendah adalah 32. Meskipun sebenarnya hal itu di luar nalar. Namun, apa boleh buat, meskipun sudah kepalang gaduh keduanya tak jua memberikan penjelasan yang rinci dan detail selain bersembunyi di balik alasan-alasan normatif yang tidak bisa diterima akal. (*)

Mungkin Anda Menyukai